Tuesday, March 22, 2011

Buku Resep Kebetan

Bagi orang yang senang memasak, memiliki buku resep pasti merupakan keharusan. Bahkan untuk seorang koki sekalipun, buku resep itu tetap dibutuhkan. Karena buku resep itu ibarat ensiklopedia, sumber dari segala pengetahuan masak-memasak. Memang sekarang sudah ada internet. Kita bisa browsing resep, nggak perlu beli buku, lebih murah dan praktis. Tapi komputer sepertinya kurang praktis dibawa-bawa ke dapur, apalagi kalau butuh contekan. Paling enak nyontek langsung dari buku resep. Mau buku resep beli atau buku resep hasil klipingan sendiri.


Saya termasuk orang yang senang mengumpulkan buku resep. Terutama resep-resep yang sekiranya doable lah. Makanya sampai sekarang belum pernah punya buku resep tentang sushi, karena sepertinya lebih enak dimakan di restoran. Saya juga bukan koki, biarpun senang berlagak seperti koki, alias sok tahu. Jadinya saya masih perlu belajar trik-trik memasak, biarpun tak perlu canggih-canggih amat. Makanya buku resep itu sudah seperti buku wajib buat saya kalau untuk memasak.

Walaupun, tak selalu juga saya mengebet buku resep setiap kali memasak. Buku itu hanya semacam pegangan. Seringkali saya malah menyederhanakan prosesnya. Asal jadi, tapi tetep enak kok, hehehe. Buku resep terbitan luar negeri juga menjadi koleksi. Mahal? Nggak juga. Buku-buku resep luar negeri saya selalu dibeli dalam keadaan diskon. Jadinya harganya tak pernah lebih mahal dari 100 ribu.

Kalau ada yang bertanya, kenapa beli buku banyak-banyak apalagi kalau topiknya sama? Jawabnya sederhana, karena setiap buku itu berbeda. Pengarang beda, isi juga beda. Saya memiliki beberapa buku tentang cupcake, dan ternyata setiap buku memiliki trik-trik yang berbeda. Setiap terbitan baru malah memuat trik terbaru untuk membuat cupcake agar lebih yummy dan lembut teksturnya. Karena dunia kuliner itu juga berputar lho, ikut berkembang sesuai jaman. Itu juga baru saya ketahui dari buku-buku resep. Dan saya selalu memilih buku resep yang memberikan tips dan trik, kalau perlu sejarah kuliner, biar nggak rugi-rugi amat karena sudah mengeluarkan uang.

Jadi memang tak perlu ragu, kok, buat beli buku resep. Tak perlu gengsi juga, karena takut dianggap bodoh di dapur. Si Mbah dulu kalau masak nggak pernah liat buku resep, secara si Mbah memang buta huruf, semua pengetahuan masak-memasaknya diwariskan turun-temurun oleh orangtuanya. Lha, tapi saya bukan si Mbah mendiang nenek saya, saya mau lebih ahli dari si Mbah hehehehe

Sunday, March 20, 2011

My Secret Weapon to Indian Food

Who needs trouble to cook a good food? Not me definitely. Sepanjang hidup ini, saya belum pernah memasak rendang. Bukan nggak doyan, tapi ribetnya itu nggak nahan. Mendingan beli aja deh di restoran padang, dijamin pasti enak. Atau sukur-sukur ada yang mau masakin, itu lebih bagus lagi. Kalau gulai kepala kakap sih masih oke lah aku handle di dapur. Biarpun ada yang jual bumbu rendang yang sudah jadi, tetep aja lah ribet. Enakan beli hehehe.

Hal yang sama juga terjadi pada makanan India. Setelah beberapa kali mencicipi berbagai menu makanan India, dipikir-pikir rasanya mirip. Kalau dipelajari juga rata-rata bumbunya sama, menggunakan garam masala, yang  sama sekali bukan jenis garam melainkan adalah kombinasi rempah-rempah. Dalam bahasa Hindi garam berarti panas, dan masala berarti rempah-rempah.  Biasanya garam masal terdiri dari: merica hitam, merica putih, cengkeh, daun kari, daging buah pala, kayu manis, jintan hitam, jintan, bunga lawang/pekak, kapulaga hijau dan putih, ketumbar, yang seluruhnya dihaluskan. Di beberapa daerah di India bahkan ada juga yang ditambahkan biji pala dan adas. Nah, kebayang kan ribetnya mencari rempah-rempah itu. Rata-rata rempah-rempah itu memang bisa diperoleh di sini. Tapi teteplah, judulnya ribet.


Namun, pencarian saya di supermarket membuahkan hasil. Bukan bermaksud promosi, tapi memang saya baru menemukan satu merek ini di sini, Asian Home Gourmet. Kayaknya made in Singapore, beli online juga bisa. Sudah dicoba berkali-kali, rasanya nggak jauh beda sama rasa masakan India otentik yang saya rasai di restoran India, yang kokinya asli dari Hyderabad. Bedanya mungkin penyajiannya, kalau di restoran jelas lebih berkelas hehehe. Tapi sejauh ini saya puas pakai bumbu jadi ini. Lagipula bumbu ini mengklaim diri telah 'vegan approved' jadi amanlah untuk dimakan. Berhubung biaya yang dikeluarkan untuk makan di restoran India cukup menguras kocek kalau dilakukan setiap minggu, maka bumbu jadi ini sangat memanjakan kerinduan lidah saya akan cita rasa India. Sekali masak satu bungkus bumbu bisa untuk 3 orang. Murah dan irit!

Thursday, March 17, 2011

Menikmati Okra dan Bhindi Masala

Apa itu Okra? Pertama kali saya melihat okra adalah di sebuah supermarket waralaba dari Prancis. Lalu karena didera rasa penasaran yang begitu hebat, saya iseng-iseng membelinya. Dalam pikiran saya, okra itu setipe dengan kacang polong, jadi yang dimakan adalah biji kacang di dalam selubungnya. Ternyata ketika saya buka, bijinya begitu kecil-kecil, dan kulitnya berlendir. Ih! Sempat saya masukkan biji okra itu ke dalam masakan yang saya buat. Tapi entahlah, biji itu sepertinya hilang tertimbun bahan-bahan yang lain. Artinya, salah masak la yauw!

Lalu, kali lain saya membaca di sebuah majalah bahwa okra ternyata bisa dibuat sup. Konon di Afrika, okra juga sering dibuat sup. Maka saya pun membelinya lagi. Sampai di rumah, langsung saya potong-potong dan saya buat sup (saya lupa nama supnya). Tapi setelah jadi, sup itu jadi berlendir. Rasanya sih enak (nggak ge-er lho!), tapi lendirnya itu mana tahaaan. Cuma saya yang doyan, karena terpaksa barangkali. Tapi yang lain nggak suka.

Tapi saya tidak menyerah. Okra itu jenis sayuran yang banyak khasiatnya. Selain kaya serat, beberapa sumber menyatakan bahwa biji okra juga mengandung lemak tak jenuh, selain juga kaya klorofil yang di antaranya bersifat antioksidan dan antikanker. Pokoknya banyaklah manfaat sayuran aneh yang konon asalnya memang dari Afrika ini. Suatu kali saya melihat di sebuah acara masak-memasak bahwa di Jepang okra digoreng pakai tepung, dibuat tempura. Maka saya pun kembali membeli okra, dan saya goreng dengan tepung. Tapi ketika digigit, waaksss...alot! Duh, gagal lagi. Mungkin mestinya okra yang masih muda ya? Sedangkan jika membeli di supermarket, biasanya sudah dikemas dengan berat tertentu.


Selama beberapa waktu saya memutuskan untuk tidak masak okra lagi. Capek ah, salah melulu. Tapi, takdir berkata lain. Lagi-lagi saya melihat dalam sebuah program masak-memasak, cara mengolah okra ala India. Akhirnya bulat tekad saya untuk kembali membeli okra, dan memasaknya ala India, Bhindi Masala. Eng...ing...eng...jadi deh! Enak, semua suka dan lahap, hehehe! Lo logro! Berhasil, berhasil!


Cara masaknya gampang. Berhubung saya ini nggak suka ribet, untuk kali ini saya pilih bumbu India instan. Pertama, okra dicuci bersih, iris-iris, lalu goreng sampai keemasan, angkat dan tiriskan di atas tisu tebal untuk menyerap kelebihan minyaknya. Lalu, sesuai petunjuk kemasan, iris bawang bombay dan paprika, tumis, dan masukkan bumbu instan. Aduk-aduk, lalu masukkan okra, kasih air sedikit, aduk-aduk, dan tunggu sampai meresap. Cicipi, tambahkan garam jika masih kurang asin. Lalu selesai deh! Tinggal dihidangkan, pakai nasi bisa, pakai capati bikin sendiri bisa.

Sekarang, saya sudah menemukan cara asyik makan okra. Tentunya Bhindi Masala hanya untuk orang-orang yang menyukai makanan berbumbu dan berempah seperti saya. Kalau suka yang lebih ringan dan plain, mungkin okra tempura bisa jadi pilihan, tapi jujur saja, sampai saat ini saya belum menemukan cara yang tepat agar okranya tidak alot, hehehe.

Tuesday, March 8, 2011

Bibimbap Sehat ala Rumahan

Bagi penggemar makanan Korea, mungkin nama Bibimbap sudah tak asing lagi. Itu adalah nasi campur khas Korea. Biasanya disajikan dalam mangkok tembikar yang sudah dipanaskan lebih dulu. Isinya: nasi putih, sayur-sayuran, daging sapi dan telur yang biasanya masih mentah, lalu sambal gochujang khas Korea. Sebelum dimakan, isi mangkok diaduk menjadi satu, sehingga telur dan daging yang semula mentah akan menjadi matang karena bersentuhan dengan mangkok yang panas. Rasanya? Jangan ditanya, bikin ketagihan lidah petualang kuliner.

Itu kalau makannya di restoran Korea. Harganya 1 porsi lumayan mahal, rata-rata 70 ribuan, bisa lebih, dan kaenya nggak mungkin kurang. Porsinya juga lumayan mengenyangkan. Saya malah pernah menghabiskan satu mangkok berdua. Menurut saya, bibimbap itu makanan yang sehat. Komplit. Kayak nasi rames, tapi rasanya lebih rame. Dan ternyata pengolahan gampang, biarpun sedikit membutuhkan kesabaran untuk memilah-milah sayurannya. Sayuran apa aja yang kebetulan ada di rumah bisa dibuat jadi bibimbap. Masaknya tinggal ditumis saja pakai minyak sayur, kasih garam merica sedikit atau saos tiram supaya lebih berasa. Tapi terserah aja sih. Namanya juga ala rumahan. Yang penting konsepnya sehatnya kena.

Untuk mempersiapkan bibimbap, yang utama adalah nasi panas, sayur-mayur, jamur, dan telur. Berhubung saya tidak punya mangkok panas seperti yang digunakan di restoran Korea, maka saya memakai mangkok biasa, dan tidak memakai daging. Pakai daging silakan saja, tapi sudah ditumis terlebih dahulu. Di sini yang  yang saya gunakan (karena adanya cuma itu) adalah wortel, toge, daun bawang, lalu jamur dan telur. Pertama, rebus toge sampai setengah matang saja, lalu tiriskan. Setelah itu iris-iris wortel seukuran korek api dan tumis sebentar sampai setengah matang beri garam merica sedikit, angkat dan tiriskan. Lalu jamur diiris-iris dan ditumis dengan sedikit minyak dan bumbui dengan saos tiram, tunggu sampai layu, lalu angkat dan sisihkan. Selanjutnya buat telor mata sapi setengah matang, bumbui dengan sedikit garam dan merica, angkat dan sisihkan. Terakhir, iris-iris daun bawang, sisihkan.

Untuk penyajiannya, masukkan nasi panas ke dalam mangkok, letakkan telur mata di tengahnya dikelilingi bahan-bahan lain yang ditata rapi. Lalu bubuhi dengan gochujang (bisa diperoleh di supermarket yang menjual bahan makanan impor), atau buat bumbu pedas sendiri yang terdiri dari: saos tiram, tauco, cabe bubuk. Nah, setelah itu sebelum disantap tinggal diaduk-aduk.